Thursday 5 November 2015

HAIR GURU


Butuh waktu sebulan lebih untuk saya mau menuliskan blog ini.
Akan saya jelaskan.

Pernahkah Anda mendatangi sebuah salon untuk melakukan potong rambut, lalu berakhir dengan rambut yang terlalu pendek dengan poni lebar sehingga membuat wajah semakin terlihat bulat?
Setidaknya dari sisi saya, hal tersebut cukup sering terjadi. Saya memerlukan waktu setahun dua kali untuk potong rambut di penata rambut kepercayaan dengan harga mahal untuk mendapat potongan yang saya inginkan.

INGINKAN.
satu kata yang cukup kuat jika membicarakan soal ego penampilan.

Pada suatu hari saya melihat seorang teman posting foto rambutnya yang baru saja di potong di The Parlour dengan hasil menyegarkan. Di usia pertengahan '30an, ia terlihat lebih menarik dan muda. Potongan yang berani dengan tampil lebih pendek, membuat saya cukup lama memperhatikan fotonya.
Ok, mari kita coba potong di sana.







Pernahkah Anda memasuki sebuah salon dan meminta potongan yang Anda inginkan, namun yang didapat malah edukasi mengenai apa yang Anda butuhkan, bukan apa yang diharapkan.
Berlokasi di Darmawangsa Square Citywalk, siang itu saya bertemu dengan Winda Rosita. Hairdresser / hair guru yang mengajarkan saya untuk menghargai (lebih tepatnya menerima) kondisi rambut yang sudah saya dapatkan dari lahir. Ikal mengembang sekaligus tebal. "There's nothing you can do except adding products or styling it with flat iron," ujarnya kepada saya.
Damn. the truth need to be told.
"So all I can do is cut your hair and make it better than now," kira-kira seperti itu ucapannya dalam bahasa Inggris sempurna beraksen Singapura.
Ia bahkan mengajari saya untuk duduk yang tegap tanpa melipat kaki, ketika ada yang memotong rambut. Alasannya: Saat duduk normal, posisi bahu lebih sejajar sehingga bisa mendapatkan potongan rambut yang  lebih rata.
Well, that's new! 



Di The Parlour, para penata rambut memiliki pengalaman dalam hal mengedukasi mengenai apa yang bisa kita lakukan dengan rambut hasil paduan DNA ibu dan ayah milik kita ini. Tidak semua salon memberikan pengalaman itu. Biasanya mereka akan menuruti apa yang diinginkan konsumen tanpa memberi edukasi. Hasilnya? konsumen akan lebih kesal dengan hasil potongan yang diterima dan tidak kembali lagi ke salon tersebut, padahal belum tentu salah penata rambut.
"We also reject our customers if we think they don't need a haircut yet. It is best for us to maintain the quality of our services," lanjut Winda setelah menyelesaikan tugasnya. Jadi salon milik Tristan Hall ini ingin memiliki reputasi terbaik dalam hal edukasi dan pelayanan kelas premium.
Ketika Anda membayar mahal untuk sebuah perawatan dan tata rambut, maka mereka akan melayani sesuai dengan apa yang Anda bayarkan. Sesederhana itu.

Itulah alasan kenapa saya menunggu sebulan lebih untuk melihat hasil potongan Winda. Tidak hanya untuk melihat apakah jika rambut ini memanjang, hasil potongannya akan tetap bagus, tetapi juga saya tidak ingin memberikan tulisan basa basi dengan sugar coating berlebihan tanpa 'isi'.

Well, sampai detik ini saya masih puas dengan potongan rambut saya, baik dalam kondisi tanpa produk apapun maupun setelah menggunakan produk dan flat iron. Potongan poni yang pas membuat saya yakin pengalaman saya di The Parlour adalah worth the money and worth to wait.
Tentu saja saya akan kembali mempercayakan rambut saya di tangan dingin Winda.
Atau Tristan Hall himself.


Setahun sekali =D
 

Thursday 2 July 2015

MENYAPA ORA

Jika saya bisa mengulang, mungkin ada beberapa hal yang akan saya ubah, pertama bawa tisu gulung, kedua bawa jaket. Oh, satu lagi, Tidak pergi ke Ambon di bulan Juni-Juli, hahaha!

Sebuah perjalanan yang mengejutkan dari sebuah doa yang dikabulkan. Berawal dari keisengan melihat jadwal penerbangan ke Ambon di awal tahun kemarin, yang sebenarnya untuk perjalanan akhir tahun. Saya dan Renno (AE Rolling Stone) begitu terpikat dengan keindahan pantai Ora dan sekitar Pulau Seram. Kami harus kesana! 

Kemudian bulan berlalu dan impian tersebut sempat terlupakan. Sampai pada suatu saat ada sebuah proyek buklet yang harus kami kerjakan untuk majalah. Permintaan dari klien adalah buklet perjalanan. Dengan spontan Renno memberikan ide perjalanan ke Ambon. Approved! Dan kami harus berangkat dalam sepuluh hari, tepatnya di hari pertama bulan Ramadan. 

Siapa sangka akhirnya impian itu terwujud juga. Berbekal alat snorkeling sendiri, baju secukupnya, deadline majalah yang masih terkatung-katung, mat yoga dan Lenovo Yoga Tablet 2Pro untuk kebutuhan yoga, Saya dan tim buklet ini berangkat ke Ambon.

Tiga setengah jam di udara, dua jam di darat, dua jam di laut dan empat jam lagi di darat, kami tiba di desa Saleman. Desa terdekat dan tempat transit untuk menuju ke pantai Ora. Sebenarnya secara keseluruhan pulau ini bernama pulau Seram dan pantai Ora adalah salah satu pantai yang terdapat di pulau Seram. 

Penginapan juga tidak hanya satu, Ora Beach Eco Resort saja, namun ada dua penginapan lainnya, dimana Kakaktua Resort adalah tempat kami menginap. Hanya terdiri dari dua kamar diatas laut, tempat makan di pinggir pantai serta pemandangan pegunungan disapu kabut, perjalanan belasan jam dari Jakarta terbayar sudah. Sepuluh menit di kapal kayu dari desa Saleman ke Kakatua Resort saya lewati dengan mencelupkan tangan ke laut untuk menyapa agar kami diterima dengan baik oleh alam sekitar.

Kesalahan kami ada dua. Pertama, bulan Juni-Juli adalah bulan musim hujan di Ambon hingga Maluku, selain bulan tersebut matahari bersinar dengan indahnya. Kami hanya kebagian matahari setengah hari saja dari total dua malam menginap di Ora. Jelas dalam beberapa trip setelah mengambil gambar dan snorkeling, kami menggigil kedinginan di atas kapal kayu, terkena bias gerimis dan angin. Kedua, kami tidak membawa tisu. Penginapan di Ora memiliki keterbatasan. Listrik yang hanya tersedia dari pukul 6 sore hingga 6 pagi, tidak ada televisi atau radio untuk hiburan, sulitnya mendapat sinyal serta  kamar mandi tanpa tisu. Insecure saat buang air? tentu saja, hahaha!

Ini kali pertama saya melakukan yoga di atas laut! Sebuah pengalaman yang ingin saya lakukan berkali-kali! Bagaimana tidak, pukul 6.30 pagi, saat cahaya matahari mulai mengintip dari balik pegunungan, membuat konsentrasi yoga terasa sangat penuh dan udara yang bersih mengisi paru-paru dengan leluasa. Mengandalkan iPod untuk musik dan video tutorial Vinyasa dari Lenovo Yoga Tablet 2Pro, Jumat pagi, 19 Juni 2015 adalah hari terbahagia saya di bulan tersebut.

Pada akhirnya semua menjadi pengalaman yang menyenangkan meskipun kerap dirundung hujan. Sebuah berkah saya bisa berdoa di tengah-tengah kedamaian pegunungan dan air laut yang tenang. Sebuah berkah bisa sampai ke pulau indah yang menyegarkan seluruh panca indera, serta sebuah berkah bisa datang dan pulang tanpa kekurangan suatu apapun.

 Don't you just love life? =) 







80% foto trip ini diambil dengan menggunakan Lenovo Yoga Tablet 2Pro. Kejernihannya hasilnya dapat saya andalkan untuk menangkap keindahan alam Ora dan sekitar pulau Seram. Salah satu gadget yang menghibur di kala menunggu listrik menyala pada pukul enam.