Monday 8 December 2014

CERITA PAGI DI KAWAH IJEN

Benar kata seorang teman bernama Ivan Handoyo, "Ketika lo ke gunung, maka lo mengambil energi positif, dan lo ke laut untuk membuang energi negatif," ucapnya pada sebuah pertemuan di Casa, Kemang.

Itu yang saya rasakan ketika menginjakkan kaki di Kawah Ijen, Banyuwangi pada 6 Desember lalu.

Perjalanan dinas kali ini adalah untuk meliput Banyuwangi Jazz Pantai 2014 yang menjadi bagian dari rangkaian Banyuwangi Festival selama enam bulan, namun yang ada di pikiran saya adalah mengunjungi Kawah Ijen. Selama ini saya hanya melihatnya lewat YouTube, brosur, majalah dan televisi, sehingga dengan tekad bulat, dengan atau tanpa teman, saya akan tetap berangkat.

Mestinya perjalanan dilakukan pada jam 00.00 - 01.00 tengah malam, namun karena perjalanan darat yang kami lakukan dari Surabaya memakan waktu hingga sembilan jam dan tiba di Hotel Wisma Blambangan  jam 22.00, maka saya tidak menyanggupinya dan memilih berangkat jam 04.00 subuh.

Perjalanan mengendarai mobil Jeep 4x4 dengan pak Didi, supir sekaligus guide saya pagi itu (iya, akhirnya saya sendirian, dan itu keputusan yang tepat!) memakan waktu satu jam untuk sampai ke kawasan Ijen. Saya melihat sekeliling kawasan, dingin tapi menyejukkan dan menyenangkan, hingga saya melihat plang jarak tempuh menuju kawah Ijen dengan berjalan kaki menanjak. Tiga kilometer.


Saya tidak menyiapkan mental untuk medan tanjakan, sehingga yang biasanya di treadmill, tiga kilo bisa saya tempuh dalam 20 menit, dieprlukan waktu satu jam 15 menit untuk sampai ke kawah Ijen! memalukan! hahhaha!

Di perjalanan menuju puncak, saya berpapasan dengan pengunjung kloter pertama yang kemungkinan besar mereka telah melihat blue fire subuh tadi dan mungkin mereka akan berkata dalam hati, "yang sabar ya jeung, perjalanan masih panjang" #pukpuk, karena itu yang saya rasakan ketikan turun pulang dan berpapasan dengan pengunjung berikutnya setelah saya =D





Saya juga bertemu dengan para penambang yang sudah siap dengan keranjangnya untuk mengambil belerang. Saat berhenti sejenak di tempat peristirahatan mereka, ini cerita yang saya dapatkan:
Para penambang belerang ini bekerja untuk perusahaan swasta, dimana dalam satu hari ada dua kali trip yang mereka lakukan untuk mengambil belerang secara manual (pikul) dan mengantarnya ke penimbangan dan dapur masak belerang. Jadi bayangkan, mereka naik gunung 3 km, turun ke kawah sekitar 300-400m, naik lagi 300-400m sambil memikul 60-70kg belerang, berjalan 3km ke bawah gunung, dan jalan 1km lagi untuk ke dapur masak. Total trip sebanyak dua kali: 14km more or less, dengan setengah jalannya memikul belerang berat.




Anda memang harus melihat sendiri perjuangan mereka, untuk kemudian merasa bersyukur dengan pekerjaan Anda sekarang. Penghasilan mereka bisa mencapai  Rp 120.000-140.000/hari tanpa hari libur. Libur didapat jika mereka terlalu lelah atau sakit. Jadi apakah masih mau mengeluh? sekali lagi memang harus melihat sendiri untuk merasa simpati atau empati.

Sesampainya di Kawah Ijen, saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuruni kawah untuk melihat langsung proses belerang diambil. Saya dibawa oleh salah satu penambang bernama pak Nuh (46) dengan kulit yang masih kencang. "Itu efek belerang mbak, buat kulit awet muda, tapi giginya ancur," kata pak Didi saat berbincang di perjalan pulang. Pak Nuh yang memiliki satu anak remaja 17 tahun dan 1 balita ini memiliki mata yang bagus untuk mengambil foto saya selama berada di kawah dan menikmati sarapan sederhana dengan pemandangan surga.
















Saya harus bersyukur kepada Tuhan, semesta dan bumi, masih diberikan spirit, energi, kesempatan dan kesehatan untuk berada di tempat ini, dan berbagi cerita bahwa orang Indonesia harus menginjakkan kakinya disini untuk menjadi bangga bahwa ia adalah orang Indonesia.


Sebuah pagi yang sempurna meskipun kurang tidur. Saya sudah tidak memikirkan betapa berat medannya (apalagi saya perokok), tidak memikirkan biaya sewa mobil + bensin + supir + bbm sebesar Rp 650.000, karena semuanya sepadan dengan apa yang saya rasa, lihat dan nikmati.
Sebuah pagi yang sempurna untuk sarapan di tepi danau dengan sambutan matahari terbit disela gunung, kabut yang mulai turun, kehadiran monyet hitam dan kuning beserta keluarganya, obrolan ringkas serta lantunan lagu-lagu Jawa dari penambang belerang, hingga rute hutan hujan yang sangat menyegarkan seolah mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bernapas dalam-dalam. Semuanya sempurna.









































Saya hanya berharap kebahagiaan dan kedamaian ini bisa bertahan lama dan saya bawa dalam diri saya selama-lamanya.